Dayak[4][5][6][7][8][9] atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak[10][11][12][13]) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman[14] yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Paser[15]
Menurut sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan
Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak
Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak
dan non Banjar). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau
bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada
nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang
dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Kutai, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
Daftar isi |
Etimologi
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.[16][17]
Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku
Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa
diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam
penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak
berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja,
sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga
yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa
Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada
tempatnya.[18][19]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah
Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin
disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[20]
Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk
asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan
Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan
Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah
Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau
rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara
kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang
berbeda-beda bahasanya[21], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[22]
Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan.[23]
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland,
seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans
(1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’
berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu
berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat
adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[24] Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq
mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa
sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik
personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat,
gagah, berani dan ulet.[25] Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak.
Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah
ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut
mereka sebagai ‘Dayak’.[26]
Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke
selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju
Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo.
Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150
meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan
(para geolog
menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua
Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu
tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh
Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus
menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan.[27] Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[28][29], yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[30]
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak
Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang
berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas
dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang
Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[31] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku 323 Sejarah Dinasti Ming
(1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang
pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang
Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh
pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan
Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.[32]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.[33]
Pembagian sub-sub etnis
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak
yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke
pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi
sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih
jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku
Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat,
budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut
suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975
dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri
dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh
Kalimantan.[34]
Dayak pada masa kini
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan
merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan,
sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara
Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak
memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi
faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke
dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah
panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau,
sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata
pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak
rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak
dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang
berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat,
(orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal,
tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya
secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak
diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan
sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[35], selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq[36] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder )
bersumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori budaya /
ips
dengan judul suku dayak. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://zodiakcancer1.blogspot.com/2013/03/suku-dayak.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
rifki - Thursday, March 14, 2013
Belum ada komentar untuk "suku dayak"
Post a Comment